Seiring berkembangnya teknologi, kebutuhan manusia
akan informasi akan semakin meningkat. Hal tersebut berdampak pada menjamurnya
perusahaan media massa yang muncul di Indonesia apalagi setelah era orde baru
tumbang. Pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan UU Pers tentang kebebasan pers,
menyebabkan munculnya 600 perusahaan media massa baru namun akibat persaingan
yang ketat hingga saat ini hanya sekitar 60 perusahaan media massa yang
bertahan.
Persaingan yang
ketat rupanya membuat beberapa pemilik media mengahalalkan segala cara. Banyak
media massa terutama koran yang menerbitkan karya jurnalistik yang tidak sesuai
dengan aturan yang telah disepakati dalam kode etik jurnalistik. Kita ambil
contoh pemberitaan koran ‘lampu merah’. Seringkali pada koran tersebut, berita
yang ditampilkan menggunakan kata-kata yang vulgar dan merendahkan pihak
korban, hal tersebut tidak seseuai dengan kode etik jurnalistik pada Bab II
pasal 8 yang berbunyi “Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila
(asusila) tidak merugikan pihak korban.”
Selain
menghadapi tantangan dari berbagai pihak yang menghalalkan segala cara untuk
meraih keuntungan dari pembaca, perusahaan media massa juga mengahadapi
tantangan baru yaitu new media atau internet. Keterbatasan kemampuan perusahaan
media cetak dalam melawan waktu untuk menyebarkan informasi menjadi kendala
tersendiri. Wakil direktur Jawa Pos Azrul Ananda, pernah mengatakan dalam
tulisannya dalam koran ‘Jawa Pos’, bahwa media cetak lambat laun akan
terkalahkan oleh media internet. Hal tersebut dikarenakan bila suatu informasi
disebarkan melalui internet, maka penduduk yang berada di daerah terpencilpun
dapat mengaksesnya asalkan ada jaringannya. Sedangkan koran baru dapat
didistribusikan kedaerah tersebut setelah 1 hari. Belum lagi dengan munculnya
weblog atau dikenal dengan blog pada tahun 2000-an yang juga memuat laporan
jurnalistik pemiliknya atau dikenal dengan istilah citizen jurnalism.
Mudahnya orang
untuk melakukan Citizen jurnalism dan mulai dilupakannya kode etik jurnalistik
oleh media kelas ‘kacung’ menimbulkan sebuah pertanyaan, masih layakkah
jurnalis disebut sebagai profesi?
Citizen Jurnalism dan Jurnalis Media Massa
Dalam sehari terkadang seorang jurnalis profesional di
suatu media massa dikejar batas deadline pengumpulan berita yang jumlahnya
bukan 1 berita. Bisa jadi seorang jurnalis mendapat target menulis 5 berita
dalam satu hari. Keterbatasan waktu dan tenaga membuat para jurnalis media
massa kini tak hanya mengandalkan dirinya sendiri untuk menulis berita. Mereka
kini juga dapat memanfaatkan bantuan informasi dari masyarakat atau sering
disebut dengan istilah Citizen jurnalism. Seringkali memanfaatkan karya
jurnalistik dari kegiatan Citizen jurnalism untuk menjadi sumber informasi
dalam menulis berita.
Kegiatan
Citizen jurnalism juga menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat untuk
saling bertukar informasi dan membahas suatu hal yang sedang menjadi top issue
di kalangan masyarakat. Akan tetapi terkadang keberadaan Citizen jurnalism
menjadi permasalahan tersendiri. Hal tersebut dikarenakan kredibilitas dari
sang author patut dipertanyakan. Penulis dalam kegiatan Citizen jurnalism
sering kali bukanlah orang yang berkompeten bahkan hanya menyadur ulang karya
jurnalistik pihak lain.
Hal inilah yang
membedakan jurnalis profesional dengan Citizen jurnalism. Menurut UU. No. 40
Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1 point 4 wartawan dinyatakan sebagai “orang yang secara
teratur melakukan kegiatan jurnalistik”. Berbeda dengan Citizen jurnalism yang
belum tentu dapat mempublikasikan karya jurnalistiknya secara teratur. Kegiatan
Citizen jurnalism terkadang dilakukan saat sang penulis sedang senggang.
Hal lebih
signifikan membedakan jurnalis dengan Citizen jurnalism terletak pada kode etik
yang dimiliki jurnalis. Kode etik jurnalistik memberikan batasan-batasan jelas
apa yang harus dilakukan dan dihindari dalam melakukan pekerjaannya. Sedangkan
dalam Citizen jurnalism tidak ada batasan jelas apa yang boleh dan tidak
ditampilkan dalam karya jurnalistik dari sang penulis.
Selain itu,
dalam Citizen jurnalism seorang yang melakukan kegiatan ini tidak perlu
mengikuti pendidikan jurnalisme terlebih dahulu. Sehingga sangat dimungkinkan
sang penulis tidak mengetahui etika dan tidak memikirkan tentang efek yang akan
ditimbulkan oleh tulisan yang dipublikasikan olehnya. Tentunya hal ini membuat
kredibilitas informasi yang dipublikasikan dalam kegiatan Citizen jurnalism
sangatlah bias.
Kode Etik dan Implementasinya
Kode etik tentunya tidak dibuat tanpa maksud,
Suhrawadi Lubis menyatakan ada lima tujuan kode etik disusun antara lain :
1.Standar-standar etika, yang menjelaskan dan
menetapkan tanggung jawab kepada lembaga dan masyarakat umum.
2.Membantu para profesional dalam menentukan apa yang
harus mereka perbuat dalam mengahadapi dilema pekerjaan mereka.
3.Standar etika bertujuan untuk menjaga reputasi atau
nama para profesional.
4.Untuk menjaga kelakuan dan integritas para tenaga
profesi.
5.Standar etika juga merupakan pencerminan dan
pengharapan dari komunitasnya, yang menjamin pelaksanaan kode etik tersebut
dalam pelayanannya
Dapat disimpulkan bahwa kode etik jurnalistik dibuat
untuk menetapkan standar etika profesi jurnalis sebagai bentuk tanggung jawab
dan acuan tindakan yang diambil dalam melaksanakan pekerjaannya, sehingga
integritas dan reputasi dari jurnalis tetap terjaga.
Scott M. Cutlip
menegaskan pentingnya kode etik dalam empat syarat sebuah hal dapat dikatakan
sebagai profesi, antara lain :
1. Pendidikan Khusus untuk mendapatkan pengetahuan dan
keahlian yang unik
2. Pengakuan oleh komunitas akan pelayanan yang unik
dan penting
3. Otonomi dalam praktik dan penerimaan tanggung jawab
personal oleh praktisi
4. Kode etik dan standar kerja yang diberlakukan oleh
asosiasi profesi yang mengatur diri sendiri
Dalam
pelaksanaannya seringkali terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh jurnalis
sendiri. Mulai dari jurnalis yang meminta uang, memutar balikkan fakta,
bersifat fitnah, dan cabul (asusila) dalam kegiatan jurnalistiknya. Hal
tersebut terjadi akibat kurangnya pemahaman tentang fungsi tanggung jawab
sosial kepada masyarakat yang terangkum dalam kode etik jurnalistik. Padahal
dengan adanya kode etik jurnalistik, masyarakat dapat menuntut jurnalis yang
melanggar kode etiknya, karena kode etik profesi dibuat untuk melindungi publik
dari kemungkinan ada tindakan merugikan dari orang yang berprofesi.
Masihkah Jurnalis Menjadi Sebuah Profesi?
Cutlip telah menegaskan bahwa salah satu syarat
penting suatu hal dikatan profesi adalah adanya kode etik yang mengatur standar
etika yang menjelaskan dan menegaskan tanggung jawab dari profesi tersebut
kepada masyarakat. Jadi jika ada yang bertanya apakah jurnalis tetaplah menjadi
sebuah profesi? Jawabnya ya! Namun jika ada orang yang melakukan kegiatan
jurnalistik tapi melanggar kode etik jurnalistik, apakah ia tetap dapat disebut
sebagai seorang jurnalis?
Jawabannya
tentu tidak! karena orang tersebut telah melecehkan intregiritas dan reputasi
dari profesi jurnalis. Jurnalis mengemban tugas sebagai pilar keempat
demokrasi, jika ada orang yang mengaku jurnalis tapi melanggar kode etik
jurnalistik berarti ia telah melecehkan sistem demokrasi di Indonesia. Tentunya
orang seperti itu tak pantas disebut sebagai jurnalis, tapi seorang kriminal.
No comments:
Post a Comment