Kesantunan berbahasa adalah kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan bahasa ketika berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan. Bahasa yang digunakan penuh dengan
adab tertib, sopan santun dan mengandungi nilai-nilai hormat yang tinggi.
Brown dan Levinson mengartikan kesantunan sebagai melakukan tindakan
yang mempertimbangkan perasaan orang lain yang didalamnya memperhatikan positif face (muka positif) yaitu
keinginan untuk diakui dan negatif face
(muka negatif) yaitu keinginan untuk tidak diganggu dan terbebas dari beban. Kebutuhan
muka dianggap berlaku dalam seluruh tataran budaya dimana muka dirumuskan
sebagai sesuatu yang dapat hilang, perlu dijaga, atau perlu didukung. Asumsi
yang mendasari teori ini adalah bahwa muka secara terus-menerus berada dalam
kondisi beresiko karena segala bentuk tindakan berbahasa yang disebut face threatening act – FTA (tindakan mengancam muka) yang
mempunyai fungsi menghubungkan penutur dengan lawan tutur dipandang sebagai
ancaman bagi lawan bahasa. Oleh karenanya segala tindakan mengancam muka
tersebut harus dinetralkan dengan menggunakan dosis kesantunan yang tepat.
Tepatnya, kesantunan dipahami sebagai dasar dalam menghasilkan suatu tatanan
sosial.dan merupakan alat untuk memperlancar interaksi.
2.
Strategi
Kesantunan
Brown dan Levinson (1987:60) mengidentifikasi empat strategi kesantunan
atau pola perilaku umum yang dapat diaplikasikan penutur yaitu:
1. Bald-on Record
Strategy (tanpa strategi)
Dengan strategi ini penutur tidak melakukan usaha
apapun untuk meminimalisir ancaman bagi muka lawan tutur atau untuk mengurangi
akibat dari tindakan yang mengancam muka. Strategi seperti ini akan
mengakibatkan lawan tutur merasa terkejut, malu dan tidak nyaman.
2. Positive
Politeness Strategy (strategi kesantunan positif/keakraban)
Strategi ini digunakan untuk menunjukkan keakraban
kepada lawan tutur yang bukan orang dekat penutur. Untuk memudahkan
interaksinya, penutur mencoba memberi kesan senasib dan seolah-olah mempunyai
keinginan yang sama dengan lawan tutur dan dianggap sebagai keinginan bersama
yang memang benar-benar diinginkan bersama pula. Strategi ini ditujukan
langsung kepada muka positif lawan tutur supaya keinginan penutur dianggap sebagai keinginan bersama antara
penutur dengan lawan tutur.
3. Negative
Politeness Strategy (strategi kesantunan negatif/formalitas)
Strategi kesantunan negatif adalah tindakan yang
dilakukan untuk menebus muka negatif lawan tutur dan keinginan penutur untuk
terbebas dari beban dengan maksud agar tindakan dan maksudnya tidak terganggu
dan tidak terkendala. Tindakan ini tidak lain adalah dasar dari perilaku
menghargai, yang terdapat pula pada strategi kesantunan positif. Bedanya
strategi ini lebih spesifik dan lebih terfokus karena penutur menampilkan
fungsi-fungsi penunjang untuk meminimalisir beban tertentu sebagai sesuatu yang
tidak bisa dihindarkan oleh lawan tutur. Fokus utama pemakaian strategi ini
adalah dengan mengasumsikan bahwa penutur kemungkinan besar memberikan beban
atau gangguan kepada lawan tutur karena telah memasuki daerah lawan tutur. Hal
ini diasumsikan bahwa ada jarak sosial tertentu atau hambatan tertentu dalam
situasi tersebut.
4. Off-record
Politeness Strategy (strategi tidak langsung atau tersamar)
Strategi ini direalisasikan dengan cara tersamar dan
tidak menggambarkan maksud komunikatif yang jelas. Dengan strategi ini penutur
membawa dirinya keluar dari tindakan dengan membiarkan lawan tutur
menginterpretasikan sendiri suatu tindakan. Strategi ini digunakan jika penutur
ingin melakukan tindakan mengancam muka namun tidak ingin bertanggung jawab atas
tindakan tersebut.
3.
Konteks
Kesantunan Berbahasa
1. Konteks Situasi
Karena
kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks.
Terdapat dua konteks situasi yang memengaruhi cara kita membuat permintaan.
Pertama, tingkat paksaan, dan peraturannya adalah “semakin tinggi tingkat
pembebanan yang dikandung sebuah ujaran, semakin tidak langsung sebuah ujaran
tersebut”.
2. Konteks Sosial
Pilihan
atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara
kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat
banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negative politeness dan
ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat
keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan, kelas, pekerjaan
dan etnisitas.
3. Konteks Budaya
Dapat dikatakan
bahwa kesantunan dan bahasa bersifat terikat oleh budaya setempat.
makasih kak, membantu banget artikelnya. btw kakak tau gak buku brown dan levinson yang membahasa masalah ini dijual dimana?
ReplyDeleteKalo di indonesia kayaknya gak ada yang jual deh. Tapiu kalo mau pdf-nya, bisa dicari di gen.lib.rus.ec. Terbitan tahun 1987.
Delete