Sunday, April 21, 2013

Alih Aksara dan Alih Bahasa Naskah Syair Selindung Delima


Halaman Pertama
Halaman Kedua
A.    Tahap Pengumpulan Data


Naskah berjudul ”Syair Selindung Delima”. Naskah asli Syair Selindung Delima berada di Universitas Leiden, Belanda.  Naskah ini ada sejak tahun 1850, berarti naskah ini berumur 163 tahun. Mikro film naskah ini berada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Metode yang dipakai dalam pengumpulan naskah ini adalah metode lapangan. Naskah didapat dari ketua kelas prodi Sastra Indonesia Reguler BP 2010, ketua kelas mendapat naskah dari dosen pengampu mata kuliah Metode Penelitian Kesusasteraan Prof. Dr. Hasanudin WS.
B.     Tahap Pengolahan Data
1.      Nomor Kode Naskah
Nomor kode naskah Syair Selindung Delima tidak diketahui.
2.      Judul Naskah
Judul naskah ini adalah Syair Selindung Delima.
3.      Ukuran Naskah
Berdasarkan naskah fotokopi, naskah ini terdiri atas dua halaman. Halaman pertama berukuran 15x20 cm. Halaman kedua juga berukuran 15x20 cm.
4.      Keadaan Naskah
Keadaan naskah terdapat bercak-bercak kecil berwarna hitam.
5.      Jumlah Halaman
Naskah ini terdiri atas 2 halaman.
6.      Jumlah Baris Tiap Halaman
Halaman pertama naskah ini terdiri atas 42 baris. Halaman kedua terdiri atas 31 baris.
7.      Huruf yang Digunakan
Huruf yang digunakan dalam naskah ini adalah huruf Arab Melayu.
8.      Keadaan Tulisan
Tulisan dalam naskah ini kurang rapi. Sangat sulit dibaca. Banyak terdapat kata-kata yang tidak jelas.
9.      Bahasa
Bahasa dalam naskah ini adalah bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau.
10.  Kolofon
11.  Garis Beras Isi Teks
C.    Tahap Transkripsi
Transkrip naskah Syair Selindung Delima:
1.      Halaman Pertama
bismillah itu suatu riwayat
orang dahulu empunya hikayat
crita ini suatu subahat
kata yang sungguh jua tersurat
saya membuat suatu surat
saya pun kecil kurang pendapat
dari pada suratan banyak nan sesat
jikalau terdorong sulik bakata
beribu ampun yang dakang

hendak di ampuni dosa beta
ya illahi robbil inzati
tolong syafaat hamba ini
susah sungguh didalam hati
duduk sengsara petang dan pagi
di nagari barau barau ka berdagang
tiadalah buliah berhenti sanang
sejak dari mulai kecil sampai kan gadang
begitulah nasib dagang yang surang
patik menyurat orang terbuang
dari pada kawan sekalian urang
sulik nan  jangkal ... urang
mintalah mamakdagang surang
sekalian orang habis mereka
dikenal adat
datang sesat ada yang sesal
dari pada itu tawaran banyak
ya ilahi tuhan ku rahim
tolong syafaat hamba mu yatim
saya pun miskin anak yang zalim
tolong tolongan tuhan ku rahim
seorang raja pada zamannya
bandar pirusnya nagarinya
kerajaan besar tiada antaranya
beberapa nagari takluk kepadanya
baginda bernama dewa pari
berputra dua seorang laki laki
yang perempuan bernama sari baharian
ayah dan bunda sangatlah kasian
2.      Halaman Kedua
sesekalinya rakyatnya lalu melihatnya
bandar pirus terlalu rami
baralek raja dengan sutan
pergi menempuh akan pekerjaan
berapa pula emas dan intan
kepada dewa laksana dicariknya
sudahlah selesai semuanya pelarian
bermohon pulang rakyat sekalian
setengah hati sari banian
malihat anak ke dua berkasihan
rami nagari bukan kepalang
suara keras banyak tiada ...
beberapa kapalnya ...
paniknya murah bukan kepalang
masuk pagi keluarnya patang
rajanya adil bukan kepalang
sekalian rakyat habislah sayang
nagari tuan rami senang
kakak baginda dalam istana
.... dalam nagari parus pada.... batuk kerikil pada hari selasa pukul 12 dan pada 16 hari bulan ramadhan dek pada ketika nabi kita muhammad salallahualaihi wasallam seribu dua ratus enam puluh tujuh

Latar Belakang Pragmatik


1.      Latar Belakang Pragmatik
Pragmatik mulai populer pada tahun 1970-an. Yang pertama mencetuskan pragmatik dalam pengajaran bahasa adalah Santo Agustinus pada abad ke-4. Pada tahun 1955, Oller Sr mencoba menulis sebuah buku pelajaran bahasa Spanyol dengan menggunakan pendekatan pragmatik.
Pada tahun 1970-an, pragmatik diperkenalkan di Amerika Serikat oleh Austin (1962) dan Searle (1969). Sejalan dengan perkembangan pragmatik, muncullah seminar pengajaran bahasa Council of Europe di Perancis tahun 1971.
Perkembangan belajar bahasa tidak dapat diatur begitu saja dari tahapan yang satu ke tahapan lainnya, karena perkembangan proses belajar bahasa bukanlah sama bagi semua siswa. Dengan demikian, perlu pemahaman mendalam terhadap kebutuhan dan daya serap siswa dalam proses belajar mengajar. Pendapat inilah yang akhirnya didukung oleh pakar-pakar sosiolinguistik, khususnya Dell Hymes (1967, 1972), yang akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan pendekatan pragmatik.
2.      Perkembangan Pragmatik di Indonesia
Pendekatan pragmatik sebelumnya sudah diterapkan dalam dunia pengajaran di Indonesia melalui jalur informal dan nonformal. Melalui jalur informal, yaitu guru-guru menggunakan bahasa Indonesia dalam mata pelajaran lain. Melalui jalur nonformal, yaitu penggunaan bahasa Indonesia diluar sekolah.
Berdasarkan hasil kedua jalur itulah diperlukannya penerapan pendekatan pragmatik lewat jalur formal, yaitu penyajian bentuk dan bahan pembelajaran serta penjelasan guru dan latihan memakainya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia itu sendiri.

Kesantunan Berbahasa


         Kesantunan berbahasa adalah kesopanan dan kehalusan dalam menggunakan bahasa ketika berkomunikasi melalui lisan maupun tulisan. Bahasa yang digunakan penuh dengan adab tertib, sopan santun dan mengandungi nilai-nilai hormat yang tinggi.
Brown dan Levinson mengartikan kesantunan sebagai melakukan tindakan yang mempertimbangkan perasaan orang lain yang didalamnya memperhatikan positif face (muka positif) yaitu keinginan untuk diakui dan negatif face (muka negatif) yaitu keinginan untuk tidak diganggu dan terbebas dari beban. Kebutuhan muka dianggap berlaku dalam seluruh tataran budaya dimana muka dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat hilang, perlu dijaga, atau perlu didukung. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa muka secara terus-menerus berada dalam kondisi beresiko karena segala bentuk tindakan berbahasa yang disebut  face threatening act  – FTA (tindakan mengancam muka) yang mempunyai fungsi menghubungkan penutur dengan lawan tutur dipandang sebagai ancaman bagi lawan bahasa. Oleh karenanya segala tindakan mengancam muka tersebut harus dinetralkan dengan menggunakan dosis kesantunan yang tepat. Tepatnya, kesantunan dipahami sebagai dasar dalam menghasilkan suatu tatanan sosial.dan merupakan alat untuk memperlancar interaksi.
2.      Strategi Kesantunan
Brown dan Levinson (1987:60) mengidentifikasi empat strategi kesantunan atau pola perilaku umum yang dapat diaplikasikan penutur yaitu:
1.      Bald-on Record Strategy (tanpa strategi)
Dengan strategi ini penutur tidak melakukan usaha apapun untuk meminimalisir ancaman bagi muka lawan tutur atau untuk mengurangi akibat dari tindakan yang mengancam muka. Strategi seperti ini akan mengakibatkan lawan tutur merasa terkejut, malu dan tidak nyaman.
2.      Positive Politeness Strategy (strategi kesantunan positif/keakraban)
Strategi ini digunakan untuk menunjukkan keakraban kepada lawan tutur yang bukan orang dekat penutur. Untuk memudahkan interaksinya, penutur mencoba memberi kesan senasib dan seolah-olah mempunyai keinginan yang sama dengan lawan tutur dan dianggap sebagai keinginan bersama yang memang benar-benar diinginkan bersama pula. Strategi ini ditujukan langsung kepada muka positif lawan tutur supaya keinginan penutur  dianggap sebagai keinginan bersama antara penutur dengan lawan tutur.
3.      Negative Politeness Strategy (strategi kesantunan negatif/formalitas)
Strategi kesantunan negatif adalah tindakan yang dilakukan untuk menebus muka negatif lawan tutur dan keinginan penutur untuk terbebas dari beban dengan maksud agar tindakan dan maksudnya tidak terganggu dan tidak terkendala. Tindakan ini tidak lain adalah dasar dari perilaku menghargai, yang terdapat pula pada strategi kesantunan positif. Bedanya strategi ini lebih spesifik dan lebih terfokus karena penutur menampilkan fungsi-fungsi penunjang untuk meminimalisir beban tertentu sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindarkan oleh lawan tutur. Fokus utama pemakaian strategi ini adalah dengan mengasumsikan bahwa penutur kemungkinan besar memberikan beban atau gangguan kepada lawan tutur karena telah memasuki daerah lawan tutur. Hal ini diasumsikan bahwa ada jarak sosial tertentu atau hambatan tertentu dalam situasi tersebut.


4.      Off-record Politeness Strategy (strategi tidak langsung atau tersamar)
Strategi ini direalisasikan dengan cara tersamar dan tidak menggambarkan maksud komunikatif yang jelas. Dengan strategi ini penutur membawa dirinya keluar dari tindakan dengan membiarkan lawan tutur menginterpretasikan sendiri suatu tindakan. Strategi ini digunakan jika penutur ingin melakukan tindakan mengancam muka namun tidak ingin bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
3.      Konteks Kesantunan Berbahasa
1.      Konteks Situasi
Karena kesantunan merupakan fenomena pragmatik, maka ia dipengaruhi oleh konteks. Terdapat dua konteks situasi yang memengaruhi cara kita membuat permintaan. Pertama, tingkat paksaan, dan peraturannya adalah “semakin tinggi tingkat pembebanan yang dikandung sebuah ujaran, semakin tidak langsung sebuah ujaran tersebut”.
2.      Konteks Sosial
Pilihan atas formulasi kesantunan tergantung pada jarak sosial dan kekuasaan diantara kedua pihak. Apabila terdapat jarak sosial, kesantunan dikodekan dan terdapat banyak ketidaklangsungan ujaran. Ketika jarak sosial berkurang, berkurang pula negative politeness dan ketidaklangsungan. Variabel yang menentukan jarak sosial adalah tingkat keakraban, perbedaan status, peran, usia, gender, pendidikan, kelas, pekerjaan dan etnisitas.
3.      Konteks Budaya
Dapat dikatakan bahwa kesantunan dan bahasa bersifat terikat oleh budaya setempat.