Masyarakat
Bahasa
Corder dalam Alwasilah menyatakan bahwa suatu masyarakat bahasa atau masyarakat ujaran adalah sekelompok orang yang satu sama lain bisa saling mengerti sewaktu mereka berbicara. Sedangkan Fishman menyatakan suatu masyarakat bahasa adalah satu masyarakat yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakaiannya yang cocok. Dari definisi ini jelaslah bahwa persetujuan dari para anggota masyarakat suatu bahasa tentang penggunaan kata-kata untuk merujuk pada makna tertentu sangat memegang peranan penting. Dalam definisi Fishman malah ditambahkan tentang kesamaan norma-norma dalam pemakaiannya. Jika ada penutur yang tidak menggunakan norma-norma pemakaian bahasa tersebut maka kemungkinan besar penutur tersebut akan sulit berkomunikasi dalam masyarakat itu.
Pada prinsipnya
menurut Alwasilah, masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling
pengertian, terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik
(seperti sistem bunyi, sintaksis, dan semantik). Hal senada juga dikemukakan
oleh Bloomfield yang menyatakan bahwa sekelompok orang yang menggunakan sistem
tanda-tanda ujaran yang sama disebut satu masyarakat bahasa
Sekarang, jika
pedoman yang digunakan untuk menentukan masyarakat bahasa adalah segi sosial
psikologi “merasa menggunakan bahasa yang sama”, maka konsep masyarakat bahasa
dapat menjadi luas atau sempit. Masyarakat bahasa Inggris akan sangat luas,
melewati batas benua.
Keadaan
masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika memungkinkan masyarakatnya
menjadi anggota masyarakat bahasa ganda. Maksudnya, selain menjadi anggota
masyarakat bahasa Indonesia, pada umumnya orang Indonesia pun menjadi anggota
masyarakat bahasa daerahnya.
Variasi
Bahasa
Masyarakat sebagai pengguna bahasa terdiri atas berbagai anggota yang memiliki berbagai latar belakang. Baik latar belakang usia, jenis kelamin, pendidikan, maupun pekerjaan. Setiap anggota masyarakat tersebut tentu saja melakukan kegiatan yang beragam pula. Atau secara sederhana dapat dikatakan kita semua memiliki urusan masing-masing.
Keberagaman
latar belakang dan kegiatan kita sebagai anggota masyarakat akhirnya berdampak
pula pada keragaman bahasa yang kita gunakan sebagai alat komunikasi. Cabang
linguistik yang berusaha menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan
korelasi ciri-ciri variasi bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial
kemasyarakatan adalah Sosiolinguistik.
Ada dua
pandangan untuk melihat hal variasi bahasa. Pertama, variasi bahasa dilihat
sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa. Andaikata penutur bahasa
itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan
pekerjaannya, maka variasi itu tidak akan ada, artinya bahasa menjadi seragam.
Banyak pakar
linguis mencoba untuk membedakan variasi bahasa dengan menggunakan berbagai
sudut pandang. Di antaranya adalah Preston dan Shuy (1979) yang membedakan
variasi bahasa (bahasa Inggris Amerika) berdasarkan (1) penutur, (2) interaksi,
(3) kode, dan (4) realisasi. Sedangkan Mc David (1969) membagi variasi bahasa
berdasarkan (1) dimensi regional, (2) dimensi sosial, dan (3) dimensi temporal
(Chaer, 1995).
Berdasarkan
segi penutur, variasi bahasa dapat dibedakan atas idiolek, dialek, kronolek,
dan sosiolek. Berdasarkan segi pemakaian atau fungsiolek, variasi bahasa dapat
dibedakan atas bahasa sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, dan
kegiatan keilmuan. Berdasarkan tingkat keformalannya Martin Joos dalam Chaer
membagi variasi bahasa atas lima macam, yakni ragam beku, ragam formal, ragam
konsultatif atau usaha, ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate).
Berdasarkan segi sarananya, variasi bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan
tulisan.
No comments:
Post a Comment